Penggunaan antibiotika irasional atau berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan atau penggunaan irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.
Di Indonesia belum ada data resmi tentang pengguanaan antibiotika ini. Sehingga banyak pihak saat ini tidak terlalu peduli dengan masalah ini. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya penggunaan antibiotika di Indonesia baik jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan.
- Bahaya Penggunaan Antibiotika pada Anak
Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas. Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Seperti diketahui bahwa harga obat antibiotika merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi anak beresiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika. Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi anafilaksis).
Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh Namur atau disebut “superinfection”. Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs”.
Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan Antibiotika yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, lama kelamaan, apabila pemakaian antibiotika yang irasional ini terus berlanjut, maka suatu saat akan tercipta kondisi dimana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini. Hal ini akan membuat kembali ke zaman sebelum antibiotika ditemukan. Pada zaman tersebut infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan drastis melonjak naik. Hal lain yang mungkin terjadi nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal.
- Indikasi Pemakaian Antibiotika
Indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari.
Bila batuk dan pilek yang berkelanjutan yang terjadi hanya pada malam hari dan pagi hari (bukan sepanjang hari) biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, bengkak di sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Bila sakit batuk dan pilek timbul sepanjang hari (bukan hanya malam dan pagi hari) lebih dari 10-14 hari disertai cairan hidung mukopurulen (kuning atau hijau). Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur yang membutuhkan beberapa hari untuk observasi. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan sample urin dan kemudian di lakukan pemeriksaan kultur di rumah sakit. Setelah beberapa hari akan ketahuan bila ada infeksi bakteri berikut jenisnya dan sensitivitas terhadap jenis obatnya.
Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kulut urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infe
ksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium. Infeksi virus dengan peningkatan sedkit pemeriksaan nilai widal sudah divonis gejala tifus dan dihantam dengan antibiotika.
Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 anak penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarana sekali terjadi komplikasi bakteri.
- Siapa yang Bertanggungjawab
Dalam permasalahan penggunaan antibiotika yang berlebihan ini, pihak manakah yang bertanggung jawab untuk mengatasinya. Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperanan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotik, sales representatif, perusahaan farmasi dan pabrik obat.
Bila penggunaan antibiotika berlebihan lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang tua sebagai penerima jasa dokter dalam keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua penderita sebagai pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya rencana pengobatan, tujuan pengobatan dan akibat efek samping pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua sedikit berdiskusi dengan cara bukan menggurui untuk peluang apakah boleh tidak diberi antibiotika.
Dilain pihak, orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika maka penyakitnya akan lama sembuhnya Tidak jarang penggunaan antibiótika adalah permintaan dari orang tua. Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan tanpa beban membeli sendiri antibiotika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotik atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter.
Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative dan apotik sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan. Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan harus lebih mempertimbangkan latar belakang ke ilmiuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan kepentingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiotika yang berlebihan ini.
Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban penjualan obat antibiotika oleh apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan dokter, meskipun hanya demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan.
Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiótika yang diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000.
Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri.
Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan penggunaan antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasinol di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini akan dapat terpecahkan. Jangan sampai terjadi, kita semua baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serus.
*Taken from Inovasi Online Vol. 8/XVIII/November 2006
by dr. Widodo Judarwanto, Sp. A (RS. Bunda Jakarta)
22 comments
pengalaman di jepang kalau anak demam panas baru di kasih antibiotik tapi dosisnya paling rendah dulu….
emmmm dl juga pernah direkomendasikan tetangga pada suami istri dokter yg terkenal manjur. Banyak yg berobat disana katanya cepat sembuh ternyata setelah anak2 saya berobat di sana barulah saya sadar keduanya menggunakan antibiotik untuk penyakit apa pun.dan parahnya tanpa pemberitahuan bahwa obat yg mereka beri mengandung antibiotik.Prihatin nih Wi, dokter umum di Sby dan Sda kebanyakan meracik obat sendiri dan pasien ga tau obat apa yg mereka pake.
Thx 4 sharing, Mbak Dewi… :)Aku neh salah 1 korban antibiotik yg masih idup… 🙁
TFS, Dewi… Memang banyak yang mesti dirombak, gak cuma pendekatan dokternya dalam mengobati, tapi juga mentalitas pasiennya… Saya sendiri punya pengalaman buruk dengan antibiotik, dah saya tulis di blog saya.
Wah, info ini perlu niy buat saya teruskan ke banyak orang. Karena di Ina, salah satu alasan dokternya lebih mudah memberikan antibiotik kan karena katanya di Ina lebih banyak bakteri, sehingga kalau flu/pilek (yang disebabkan virus), lebih mudah terkena infeksi sekunder (oleh bakteri) daripada di negara bermusim empat. Tapi ternyata antibiotik tidak bisa mencegah, jadi mestinya kan nunggu dulu, diliat apakah bener terkena infeksi sekunder. Boleh saya posting di milis lokal saya?
mungkin bisa dibilang hampir 90% dokter di indonesia, dari umum sampai spesialis akan meresepkan antibiotik untuk pasiennya meskipun hanya pilek sekalipun. sepertinya memang harus ada pembelajaran kembali kepada para dokters n pasiens tentang penggunaan antibiotik secara rasional terutama opada anak2 dan dampaknya untuk masa depan.
Ya harusnya memang begitu mbak… Pemberian AB berdasarkan indikasi, g bisa asal2an. Pemberiannya pun diawali dgn yg low dose dulu. Klo bakteri penyebabnya diperkirakan bisa diatasi dgn yg AB spektrum sempit yg pake yg itu dulu, g langsung dihantem kromo dgn yg broad spectrum. Ntr g enakny klo dah pd resistensi semua. Waduh… bakal g ad AB yg mempan lg… Bisa ribet. Klo pun ad pasti tuh AB yg dah super canggih & tentunya hargany juga super canggih 😀
Y mba…Nih ad pengalaman g enak dr sepupu sy. Dia kn punya anak laki2. Sejak kecil ampe pas waktu itu usia TK gitu selalu klo sakit ke dr. spesialis anak. Yg bikin mas & mbak sy betah ke dokter itu krn pasti setiap anakny sakit berobat kesana pasti cepet sembuh. Eh trus suatu ketika, keponakan sy itu sakit ketika mas sy dipindah tugaskan ke suatu daerah kecil di kalimantan yg praktek dr. spesialis itu jarang banget, langka & bahkan mungkin g ad sama sekali, kecuali klo ke kota. Jd dibawalah keponakan sy itu ke dr. umum. Eh g sembuh2. Ternyata usut punya usut, setelah mas & mbak sy itu konsul ke sepupu kami yg seorang dokter, diketahuilah bahwa keponakan sy ini setiap sakit ke dr. spesialis anak selalu dibombardir dgn AB yg luar biasa.Mungkin emang enak, anak cepet sembuh. Tp kasian ntar klo dah dewasa. Saking terbiasanya konsumsi AB bisa2 pas dewasa cuma bisa konsumsi AB yg super canggih bin mahal.Tp sebenernya g semua dokter gitu sih mbak. Hanya beberapa oknum2 tertentu saja. Jd jangan cemas klo ke dokter. Yg penting jd qt harus jd pasien yg kritis. Banyak2lah bertanya ke dokter yg bersangkutan klo emang ad yg g qt mengerti & ingin sekali ditanyakan. Biar kitany juga ngerti, nambah ilmu juga. InsyaALLAH dokter pasti akan bermurah hati membagi ilmunya sesuai dgn kapasitasnya. Trus sama halnya dgn obat. Ntr klo ke dokter lagi. Setiap dikasih resep obat. Kudu tuh ditanyain selengkap2nya ni obat buat apa, isinya apa aj, trus efek sampingnya, pokoke segala macem deh. Emang umumny klo pasien anak kan sering dikasih puyer/kapsul racikan (yg tentunya isinya macem2). Jgn sungkan bertanya ke dokternya. Klo dokternya baik pasti deh dikasih tau. Klo g y berarti mbak g usah ke dokter itu lagi, hehehe… 😀
Ya mbak…Sama2.. Semoga bermanfaat :)Wah… korban apa nih mb?Bisa dong disharing..Ditunggu y mb 🙂
y mba… Sy juga menyadari hal itu. G mo menutup mata & telinga tp sy memang melihat hal itu masihlah terjadi di lapangan. Sy setuju dgn pembelajaran kembali bagi para dokter dan pasien. Sebenernya sy selama kuliah sudah seringkali mendpt wejangan dr dosen2 sy ttg hal ini, masalah penggunaan antibiotika. & memang sudah seringkali wacana2 penggunaan antibiotika yg tepat ini disampaikan ke kalangan praktisi kesehatan. Namun tetap sj praktek berbeda dgn teori…. :(Pasien juga sebenernya perlu diberikan pembelajaran supaya jd “pasien yg pinter & kritis”. Skrg kn sdh lumayan banyak pasien yg menuntut sendiri peresepan antibiotika walo sebenernya dokternya tdny g hendak meresepkan itu. Tp krn dipaksa2, ktny sih biar ampuh, biar cepet sembuh. Y dokternya terpaksa ngalah, walo sebenernya g harusnya begitu :(Trus kn pasien itu pasti deh pengennya cepet sembuh, pdhal proses terapi juga butuh waktu, g serta merta langsung bisa sembuh, ajaib banget dong klo gitu… Jd dokterny juga serba salah… Bingung deh…Aduh.. semoga sj sy nanti klo sdh jd dokter bisa lebih bijak saat memberikan terapi ke pasien… Amin….
Ditulis di MP y mb? yg mana nih mb?
Silakan mbak…Jgn lupa mencantumkan sumber sy mendapatkanny y mba.. Serta nama dokter yg menuliskan artikel ini. Bisa dilihat di bagian bawah postingan sy… Semoga bermanfaat… 🙂
ya mbak… Emang mestinya nunggu dulu… G boleh mentang2 baru pilek langsung hantam kromo minum AB.. Iya kloo pilekny krn bakteri, lha klo krn virus??Sy sj biasanya klo batuk ato pilek klo masih <1 minggu g minum obat 😀 Bahkan obat2an simptomatik yg biasa dijual di pasaran, itu aj baru sy konsumsi klo emang dah g kuat nahan pusing ato hidung yg meler ato batuk yg g ngenakin… Tp bukan AB, ntr klo dah 1 minggu g sembuh2 baru deh sy dateng ke dokter & tentuny pasti dikasih AB. Dr kecil sy emang kebiasaan sama ortu dibawa ke dr. spesialis anak, tp alhamdulillah di usia sy yg 21 thn ini masih mempan klo berobat ke dr. umum krn sampe skrg sy masih mempan dgn amoxcilin yg umumny skrg banyak org2 yg dah g mempan lg ama obat itu.
setuju bgt! coba kamu ikutan deh milis sehat http://www.sehatgroup.web.id. pemikirannya sejalan tuh
ok mb…Thx infonya…Mb…. Truly Madly Deeply Actually I miss U….Huahahaha… halah… Apa seh…. 😀
Iya, di Ada juga review saya ttg sebuah buku yang menuliskan antibiotik dapat menyebabkan candidiasis. Memang dokter-dokter di Ina dulu cenderung gencar memberikan AB, saya termasuk korbannya. Tapi sekarang ini keknya sudah banyak yang berhati-hati, Dewi di antaranya kan? Yang susah memang kalau pasiennya yang ngotot minta. Keluarga saya sendiri pernah setiap sakit maunya antibiotik, bahkan membeli sendiri ke apotik tanpa resep dokter! Ini apotiknya juga ngaco…
InsyaAllah. Jazakillahi Dewi…
Oh iya, dulu saya punya temen kos anak kedokteran yang bapaknya juga dokter. Doi cerita, ketika pasien udah resisten dengan AB canggih dan mahal, bapaknya malah menurunkan lagi ke AB sederhana seperti sulfa yang murah. And it worked!
Kita ternyata se’aliran’, Dew… Saya pernah buka diskusi ttg obat flu terbaik. Emang sebisa mungkin saya menghindari obat-obat simptomatik.
Subhanalloh, kalau aku bs tiap hari main dan baca2 di blog anti lama2 pinternya bs ngalahin dokter ya …hehe
wah jangan salah lho..di Jepang juga tingkat resistensi AB lebih besar dibandingkan di Indonesia…so?? jangan bangga dulu….he….ya gt tuu suka ngasih AB, kita ga tahu apa alasan dokter memberikan AB pada kondisi panas pada anak…apa sudah terjadi infeksi (biasanya ditandai dg peradangan, manifestasi demam) ato ga…
terimakasih telah berbagi bersama kami.