Alhamdulillah, akhirnya sudah 40 hari saya meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu di perantauan. Kalau ada komentar “loh, gak kerasa ya, ujug-ujug uda 40 hari aja?” maka jawabannya,
“Rumangsamu penak kuliah neng luar negeri? Ora perlu ngosek WC! Ora perlu mangani wedus! Ora perlu ngarit! Bwuayangno dulinan Fesbukan tok! Rumangsanu ra penak? Yooo penaaaaaaaak!”
Memang enak bagi yang tidak merasakan, tapi sing nglakoni iki, nangis njobo-njero sak ben dino. Hal yang paling berat adalah tidak berkumpul dengan keluarga. Kangen banget dengan anak-anak, termasuk anaknya mertua. Hanya saja bukan masalah kangen keluarga yang dibahas pada tulisan ini, tapi lebih ke masalah bagaimana makan di perantauan selama jauh dari keluarga. Tulisan ini baru sempat dibuat, setelah sekian lama direquest sama istri.
Untuk membahas topik ini, tentu perlu dikaji terlebih dahulu latar belakang sejarahnya. Saya anak kedua dari tiga bersaudara, semuanya laki-laki., maka saya tidak ada pikiran sama sekali untuk bisa memasak. Kalau ibu saya sudah bisa masak enak, untuk apa saya harus bisa masak? Ketika sudah menikah, ternyata istri saya juga suka masak, maka untuk apa saya harus bisa masak? Masalahnya sekarang saya jauh dari keluarga, tapi tetap tidak bisa masak, terus bagaimana bisa makan?
Saya bukan orang yang repot masalah makan. Meski katanya dulu pas masih kecil saya susah banget kalau disuruh makan, dan sekarang nurun ke Arka & Abza yang juga susah kalau makan. Bagi saya yang penting ada nasi dan ada lauk, maka saya bisa makan. Hanya saja saya vegetarian, kata istri sih tipe lacto-ovo vegetarian, karena masih bisa makan telor & produk olahan susu. Saya jadi vegetarian secara bertahap, lebih karena faktor psikologis. Jadi ceritanya sekitar kelas 3 atau 4 SD saya pernah sakit, sempat masuk rumah sakit, terus pas sudah pulang ke rumah kalau gak salah ibu saya disuruh dokter untuk makan bagian dari daging sapi—entah apa—tapi rasanya pahit. Hampir tiap hari dipaksa makan daging itu, pake nasi—atau bubur ya? lupa—dan kecap. Setelah sembuh, saya gak mau makan daging sapi lagi. Tapi masih mau makan ayam dan saya suka makan ikan tongkol. Pun saya masih suka rawon, tapi gak pake daging empalnya. Lama-kelamaan saya gak mau makan rawon, ketika pas acara mantenan kerabat lihat bagaimana kuah rawon mengandung banyak daging sapi. Secara bertahap saya akhirnya juga gak bisa makan ayam maupun ikan. Uniknya, saya masih bisa makan bakso—tapi tanpa pentol—cuma kuah, mie dan tahu. Mungkin karena penjual bakso langganan kami, Cak Usup, rasa baksonya tidak terasa bau sapi. Tapi akhirnya berhenti makan bakso sekitar kelas dua SMA ketika ada penjual bakso baru yang ngontrak dekat rumah, dan rasa baksonya berasa banget gaje-nya, apa ya bahasa Indonesianya gaje? Pokoknya bau banget daging sapinya. Saya juga gak kuat bau sapi yang disembelih maupun bau dagingnya. Rasanya pengen muntah. Intinya sih saya vegetarian lebih karena faktor psikologis bin trauma bin kacrek.
Pas dulu kuliah S1 di Malang gak ada masalah makan, masih ada warung Mak Nia, warung pojok, tukang tahu telor, dan terutama warung pecel pagi. Jadi tinggal beli dan gak perlu masak. Meski saya ingat persis, dulu pas kuliah hanya beli satu bungkus tiap hari, separuh untuk sarapan dan separuh untuk makan malam. Itupun cuma Senin s.d Jumat. Minimal sepekan sekali, terutama hari Sabtu & Ahad, saya pulang ke Pasuruan untuk perbaikan gizi dan nyuci baju.
Pas kuliah S2 di Jakarta, juga gak ada masalah. Memang tidak ada orang yang jualan nasi pecel pagi, tapi masih ada penggantinya: nasi uduk dan Warteg yang jadi andalan. Saat itu pun saya sudah bisa masak nasi pake magic com dan untuk lauk saya beli di Warteg. Sekali beli lauk, bisa untuk sarapan dan makan malam.
Nah sekarang kuliah di Wellington, New Zealand, yang tidak ada orang jualan tahu telor tiap malam hari maupun nasi pecel di pagi hari. Tidak ada warteg yang harganya murah meriah. Maka prinsipnya adalah yang penting ada nasi, untuk lauk yang penting ada sayuran. Tantangannya adalah ternyata harga sayuran lebih mahal dibanding dengan daging.
Harga tomat yang isinya cuma 5-6 biji harga NZD 7.99. Kalau pake kurs kasaran Rp.10.000/1 NZD, maka harganya sekitar Rp.79.000. Saya gak tau sih harga tomat di Indonesia, karena yang bisa belanja adalah istri. Tapi harga segitu rasanya sudah sangat mahal—meski disarankan untuk tidak dikurskan ke rupiah saat belanja disini biar gak kepikiran. Harga tomat ini jauh lebih mahal dibanding harga ayam. Sebagai contoh dua potong bagian ayam—entah apa ini—harganya 2.99 NZD atau Rp.29.000. Empat potong paha ayam juga cuma 2.35 NZS atau Rp.23.000.
Maka solusi terbaik yang bisa saya lakukan agar tetap bisa makan adalah membeli sayur beku (frozen vegetables) karena selain lebih murah disbanding sayur segar, juga lebih praktis untuk dimasak. Tinggal direbus saja pakai air mendidih. Ditiriskan. Ditaruh diatas piring. Ditambah nasi dan kecap (ABC 275gr harga 2.39NZD). Terus dimakan deh.
Untuk menambah protein, saya juga biasa menambahkan telor rebus atau dimasak pake microwave. Untuk menambah cita rasa Indonesia, sekitar dua atau tiga hari sekali, saya masak lauk INDOMIE (5.89 NZD/pak, isi 10 bungkus Indomie, berarti satu bungkusnya seharga Rp.5.000, ah udalah jangan dikonversi). Makan Indomie, selain berasa masih di Indonesia, juga bisa untuk buat awet muda—karena katanya ada bahan pengawetnya.
Alhamdulillah, selama 40 hari ini masih sempat nyicipin masakan dengan cita rasa Indonesia. Pertama, saat baru sampai Wellington, saya masih bisa makan lauk sayuran yang dimasak Hadi Kuncoro, my roommate yang sekaligus ketua PPI Wellington. Bahkan pernah juga dimasakkan nasi goreng oleh Hadi, maknyus. Kedua, saat ke Indonesian embassy pada hari kesebelas, saya masih bisa makan somay—tentu tanpa somaynya—cuma pakai nasi, telor, kol, dan bumbu kacang + emping blinjo untuk meningkatkan asam urat yang memang sudah bertingkat-tingkat. Ketiga, hari keduapuluh delapan saat jadi sopir “travel” nganter anak-anak PPI Wellington ke kota Palmerston North, untuk pertandingan olahraga peringatan sumpah pemuda, sempat makan nasi uduk—meski rasanya agak beda sih—dan malamnya diajak makan dirumah Ibu……….(aduh lupa namanya, bendahara kedutaan kalau gak salah) bisa sejenak melepas rindu rasa nasi kuning. Keempat, hari ketigapuluh empat, diundang Keluarga Ghifary, sempat bisa makan makanan Indonesia, dadar jagung + sambel + krupuk yang bisa dimakan, karena main course mengandung banyak—entahlah apa—semacam daging sehingga saya tidak bisa makan. Untuk kesemua pihak di atas, saya sampaikan terimakasih, karena telah membawa cita-rasa masakan Indonesia saat saya jauh dari Indonesia.
Nah, simpulannya adalah kita harus tetep mangan, meskipun gak ngumpul dengan keluarga!