Sejak menikah, status saya sebagai perantau sudah beralih menjadi pemukim. Sehingga mudiknya pun tidak lagi sejauh dulu. Kini, mudiknya cukup di provinsi yang sama bahkan hanya berjarak tidak sampai lebih dari 12 jam perjalanan. Enak? Enak banget, menyenangkan, karena biaya untuk mudik pun bisa ditekan seminimal mungkin terlebih lagi karena jarak yang tidak seberapa jauh ini moda transportasi andalan pun ya cuma mobil pribadi. Tidak perlu ribet hunting tiket pesawat atau kereta api yang kalau saat peak season seperti libur Idul Fitri dan libur sekolah langsung melonjak naik. Kalau masih single mungkin tidak terlalu terasa, tapi kalau sudah memiliki buntut apalagi buntutnya banyak wow saya sampai tidak sanggup untuk membayangkan seberapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk melepas rindu dengan sanak keluarga di kampung halaman. Sempat membaca status Facebook salah seorang teman SMA saya yang sharing bahwa teman-temannya yang harus mudik lintas provinsi dan bahkan lintas pulau untuk mudik sekeluarga harus mengeluarkan biaya yang jika digunakan untuk keperluan lain bisa untuk membeli motor atau DP mobil, hehehehe… Dahsyat ya… Namun, mengingat mudik ini memang sudah merupakan tradisi di kultur bangsa Indonesia, ya saya rasa seberapa mahalnya pun biaya untuk mudik, rasanya kita masih akan mengusahakan untuk bisa melakukannya demi ketentraman jiwa, demi bersilahturahmi dengan keluarga di kampung halaman.
Well, mari saya nostalgia sedikit pengalaman mudik saya semasa masih menjadi seorang mahasiswa perantauan atau saat masih ikut orang tua merantau di tanah Borneo. Ya, sejak saya berusia 2 tahun, orang tua membawa saya merantau di Kalimantan Barat. Yang saya ingat di masa kecil saya adalah orang tua selalu mengajak saya dan adik-adik untuk pulang kampung setahun sekali. Tapi alih-alih memilih mudik saat Lebaran, orang tua saya lebih memilih mudik saat liburan sekolah. Saya tidak paham pertimbangannya apa ya, tapi kalau saya analisa sendiri bisa jadi karena biaya yang harus dikeluarkan di mudik saat liburan sekolah tidak sebesar biaya mudik di saat Idul Fitri. Belum lagi waktu mudik saat Idul Fitri yang tidak sepanjang saat libur sekolah tentu saja itu menjadi pertimbangan tersendiri. Masa sudah pulang kampung ke Jawa mahal-mahal cuma bisa stay sebentar saja tentu sangat rugi sekali. Jadi, dulu kami bisa mudik ke tanah Jawa hampir satu minggu lebih. Coba kalau pas Idul Fitri mungkin ya tidak sampai satu minggu sudah harus kembali lagi ke Pontianak.
Moda transportasi yang dipilih di kala itu sangat terbatas sekali. Saya mulai tinggal di Kalimantan sekitar tahun 1988, ritual mudik masa kecil yang mulai dari tahun 1990an sampai 2000an. Awal di sana, saya ingat kalau pulang ke Jawa naik pesawat pilihan pesawatnya ya kalau tidak Merpati Indonesia ya Garuda Indonesia. Tidak ada maskapai lain, jadi tahu sendiri lah ya berapa harga tiketnya kira-kira di kala itu. Jika orang tua kami ada rezeki untuk memilih moda transportasi udara biasanya kami memilih untuk mendarat di Bandara Juanda, bandara terdekat dengan kampung halaman kami. Namun ada masanya dimana kami harus mudik dengan transportasi laut. Iya… kapal laut 🤣 Kebayang ya, naik kapal laut terombang-ambing di laut. Jangan tanya, mudik yang paling tidak saya sukai adalah kalau saya harus ke Jawa pakai kapal. Mabuk laut udahan 😂😂 Pengalaman naik kapal laut ada beberapa pilihan, jika menggunakan kapal laut besar kami pernah turun di Pelabuhan di Semarang atau di Surabaya. Namun pernah beberapa kali kami menggunakan kapal cepat yang berlabuh di Pelabuhan Jakarta. Kalau saya lebih prefer yang kapal cepat karena hanya butuh waktu sekitar 1 harian saja. Kalau yang kapal laut besar itu kami butuh 3 hari 2 malam di atas laut 😅
Nah, ketika saya memasuki usia 17 tahun, saya harus merantau atau mungkin lebih tepatnya kembali ke kampung halaman di tanah Jawa untuk melanjutkan studi S1 saya. Saat menjadi perantau mandiri inilah saya juga masih merasakan ritual mudik. Berhubung dulu saya termasuk mahasiswa yang mudah homesick maka saya mudik setahun dua kali 😂 Yang jelas saat Idul Fitri mesti pulang ke Pontianak (orang tua saya lebih prefer berlebaran di Kalimantan, begitu pula saya, hehehehe) dan saat libur panjang tahun ajaran baru. Beda zaman tentu saja beda kemudahan moda transportasi. Di saat saya kuliah, pilihan moda transportasi terutama maskapai penerbangan udara sangat banyak, jadi ya bisa dipilih-pilih lah tiket termurah yang bisa diakses demi pulang ke Kalimantan (buat saya Pontianak itu sejatinya kampung halaman saya yang sesungguhnya ✌🏼). Tapi semurah-murahnya tiket pesawat ke Kalimantan ya tetap saja mahal sebenarnya apalagi saat musim orang mudik.
Sekarang, ketika sudah berkeluarga dan mukim di Malang, saya banyak bersyukur karena tak ada lagi keribetan mudik seperti di masa lalu. Bagaimana tidak, saya cukup naik mobil sekitar 2 jam saya sudah bisa mudik ke rumah mertua di Pasuruan 😝 atau kalau mau agak jauh sedikit mudik ke tanah kelahiran saya, Asembagus, silahturahmi ke rumah mbah di sana. Durasi perjalanan pun kalau lancar cukup 6 – 7 jam saja, tergantung seberapa banyak kami berhenti untuk beristirahat di jalan. Oh ya, mudik saya memang tidak jauh-jauh, karena orang tua saya sendiri juga sudah ikut mukim di Malang. Jadi enak toh? Ya iyalah enak, hahahahaha…..
Ini cerita mudik saya, bagaimana dengan Anda?
25 comments
Gak kangen Pontianak dan meriamnya mbak?
Kangen makanannya sih lebih tepatnya mbak 🤣🤣 Kalau meriam atau suasana biasa aja sih, soalnya udah hampir 15 tahun meninggalkan kota itu. Cuma memang makanannya yg sampe sekarang sulit untuk dilupakan, lidahnya udah lidah orang Melayu 😝
so expensive material
Since manuscripts are subject to deterioration
from lat. manus – “hand” and scribo – “I write”) ]
works of art.
A handwritten book is a book
from a printed book, reproduction
55 thousand Greek, 30 thousand Armenian
manuscripts attributed to Robins
From many manuscripts of Antiquity
(palimpsests). In the XIII-XV centuries in
antiquities. These are the Egyptian papyri
written on the parchment was scratched out
among them acquired “Moral
(palimpsests). In the XIII-XV centuries in
handwritten books were made,
new texts were rewritten
bride, Julie d’Angenne.
consists of the book itself
from lat. manus – “hand” and scribo – “I write”) ]
book about the chess of love “, created by
consists of the book itself
bride, Julie d’Angenne.
Century to a kind of destruction: