Jumat, 15 Maret 2019. Tak ada yang beda siang hari itu. Seperti biasanya saja. Pas 14.30, selepas sholat jumat di Student Islamic Centre aka Mushola. Kembali lagi ke kantor seperti sedia kala. Menu makan siang pun tetap sama tiap harinya. Pisang yang dipenyet roti panggang. Tak ada yang beda.
Baru terasa beda ketika duduk di meja kerja. Buka komputer, baca WA dan media. Ada serangan teror di Selandia. Christchurch persisnya. Saya tak bisa cerita apa yang terjadi disana. Silahkan saja baca berita.
Baru terasa beda, ketika ada kecemasan di dada. Wellington jauh dari Christchurch. Sekitar 400 km bentangnya. Christchurch di Pulau Selatan. Wellington di Pulau Utara. Tapi jujur saja, ketakutannya sampai di hati saya.
Baru terasa beda, pada pukul 17.01. Saat waktu Ashar tiba. Cuma ada empat orang yang berjamaah. Selepas sholat pada berbicara. Memutuskan pulang semua. Dampaknya: Maghrib dan Isya tak ada yang jamaah di Mushola.
Baru terasa beda, ketika setiap orang saling bertanya kabar. Dari FB Messenger, DM maupun WA. Hanya untuk tanya ada apa dan apa baik-baik saja. Bahkan supervisor juga tanya, siap sedia, dan bila takut atau ada perlu tinggal ngomong saja.
Baru terasa beda, ketika pukul dua puluh tiga. Waktu pulang ke kost telah tiba. Ada rasa takut, tapi Bismillah saja. Eh, ternyata aman sentosa. Alhamdulillah.
Keesokan dan beberapa hari berikutnya, ternyata peristiwa teror di Selandia membawa hikmah:
Pertama, saya dengar. Kata berita. Acara Wellington Pride Festival dibatalkan demi alasan keamanan. Alhamdulillah. Sekedar info saja. Ini acara LGBTQ yang legal bin sah. Respon kami, beberapa hari sebelum pelaksanaan acara. Dengan segelintir teman di mushola. Bahas bagaimana sikap kita. “Kita hanya tamu, harus hormati tuan rumah” begitu katanya. Tak bisa menolak dengan tangan dan kata, maka dalam hati saja. Ya, apa mau dikata. Toleransi di Selandia memang sangat ultra. Tak sanggup dicerna orang kolot macam saya.
Kedua, hari sabtu-nya. Ada pertemuan VicMuslimClub dengan komunitas mahasiswa lintas agama di kampus. Intinya, akan saling dukung, sebagai sesama mahasiswa. Dan memastikan kami baik-baik saja serta diputuskan beberapa program kerja. Termasuk penggalangan dana. Alhamdulillah.
Ketiga, Mushola jadi banyak kue-nya. Ini perbaikan gizi. Gratis pula. Alhamdulillah. Maklum lah, kan mahasiswa.
Keempat, banyak bentuk dukungan kepada Muslim dari warga Selandia. Setidaknya bisa terlihat di kampus saya. Ada dinding “Tribute to Our Muslmin Whanau” bahwa muslim adalah keluarga. Alhamdulillah.
Kelima, banyak muslim brothers di Musholah dan teman kost saya, yang wajahnya kelihatan beda. Lebih bercahaya. Maklum habis dipotong rambutnya. Gratis pula. Daripada harus keluar dollar dua puluh lima. Atau 250rb rupiah, bila hari biasa. Ini jasa pemilik barber shop di Marsden Village. Brother Hawkar Osman namanya. Alhamdulillah.
Keenam, di kampus banyak bule wanita yang pake kerudung sepekan setelah kejadian. Berasa seperti banyak saudara. Alhamdulillah. Tapi gak perlu dilihat—pun dibayangkan—dibawah kepala mereka. Sama saja seperti biasa, pakaiannya.
Ketujuh, banyak yang penasaran dengan Islam. Teman kantor saya menyampaikan rasa duka sekaligus tanya. Bagaimana Islam beribadah. Kujelaskan sholat dengan beberapa kalimat. Tentu berharap banyak turun hidayah dan rahmat. Di-amiin-in saja.
Kedelapan, pertama kalinya saya dengar adzan pakai pengeras suara, di kampus saya. Siaran adzan live dari Christchurch sana. Mungkin kalau di Indonesia sudah biasa. Tapi di sini terasa jauh lebih nikmat dan menggetarkan jiwa. Alhamdulillah.
Kesembilan, saya merasa malu sebagai orang Indonesia. Ternyata saya diajari nilai Pancasila. Justru dari orang non-Indonesia. Bagaimana cara menghormati dan menghargai sesama manusia. Tak peduli ada beda.
Konon, New Zealand dianggap sebagai masyarakat paling Islami di dunia—terlepas dari Khamr dan LGBTQ membudaya. Sempat terbayang di mata. Ketika live adzan jumat mengudara. Penduduk negeri ini tidak hanya menjadi masyarakat paling Islami, tapi juga sudah konversi. Menjadi masyarakat Islam yang paling Madani. Amiin.