Manusia tidak mengetahui masa depan, untuk itu ia butuh belajar sejarah. Namun, manusia yang mengklaim mengerti masa depan[1], justru akan melupakan sejarah[2]. Mempertaruhkan masa depan bangsa.
Bangsa yang disatukan oleh persamaan nasib di masa lalu—seperti Indonesia—masa depannya membutuhkan ikatan sejarah. Mengajarkan sejarah adalah upaya paling bijak untuk mempertahankan persatuan bangsa. Menghapuskan sejarah adalah cara paling efektif untuk menghancurkan masa depan bangsa.
Untuk itulah, mata pelajaran sejarah senantiasa muncul menjadi menu wajib dalam perkembangan kurikulum di Indonesia. Setidaknya hingga saat ini.
Saya tidak mengetahui masa depan. Sebagaimana saya juga tidak tahu masa depan mata pelajaran sejarah. Bisa jadi, sejarah dilupakan atau sekedar dijadikan pilihan. Saya hanya bisa berharap, sejarah tetap diwajibkan.
Namun segala sesuatu bisa berubah. Dalam sejarah hanya berlaku paradigma tunggal: Perubahan. Segala sesuatu pasti berubah. Termasuk kurikulum dan mata pelajaran juga bisa berubah.
Saya bercermin dari kasus mata pelajaran sejarah yang ada di Selandia Baru. Negeri ini memiliki jalan sejarah yang berbeda dengan Indonesia.
Di Indonesia, penguasa kolonial hengkang dari Kepulauan Nusantara. Persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah menjadi “komunitas terbayang” dan termanifestasi dalam nasionalisme bangsa Indonesia. Menyatukan kebhinekaan yang ada.
Di Selandia Baru, penguasa kolonial tetap bertahan. Namun hak-hak pribumi (Maori) diakui melalui perjanjian Waitangi 1840.
Hingga saat ini, posisi sejarah di Selandia Baru adalah sebagai mata pelajaran pilihan.
Para siswa, boleh tidak memilih sejarah. Apalagi kalau dirasa tidak ada manfaat bagi dirinya.
Guru sejarah, memiliki otonomi untuk mengajarkan materi apapun karena tidak ada standar isi yang diatur dalam kurikulum. Guru hanya berpikir tentang bagaimana agar siswa bisa berpikir historis.
Paling aman, adalah mengajarkan materi sejarah Eropa dan sejarah dunia.
Paling mudah, adalah mengajarkan materi sejarah “persatuan bangsa” Selandia Baru yang terlibat dalam Perang Dunia I: Pertempuran Gallipoli 1915 yang diperingati sebagai ANZAC day.
Paling dihindari, adalah mengajarkan materi sejarah pada masa kolonial, bagaimana hubungan antara penduduk pribumi dan penguasa koloni yang seringkali diwarnai konflik dan peperangan.[3]
Dampaknya, banyak generasi muda di Selandia Baru yang tidak paham sejarah negerinya sendiri. Sebab Selandia Baru tidak punya banyak “sejarah bersama” yang layak untuk dibanggakan dan dirayakan bersama. Yang ada adalah “sejarah bersama” yang penuh konflik dan menjadi “controversial/difficult history” bila harus diajarkan.
Hingga pada tahun 2015, dua orang siswi sekolah menengah mengajukan petisi agar peristiwa-peristiwa dalam negeri—meskipun kelam—juga harus diajarkan di sekolah. Mereka adalah Waimarama Anderson dan Leah Bell.[4]
Kabar baiknya, petisi mereka memperoleh banyak dukungan dan didengar pemerintah. Sejarah akan menjadi mata pelajaran wajib di Selandia Baru mulai tahun 2022.[5]
Hal sebaliknya justru akan terjadi di Indonesia. Meski banyak memiliki materi sejarah yang dapat menyatukan kebhinekaan. Ternyata mata pelajaran sejarah—wacananya—akan disingkirkan perlahan dalam kurikulum yang akan datang.
Kabarnya: Sejarah akan terintegrasi dalam mata pelajaran IPS untuk kelas X SMA. Kemudian hanya menjadi pilihan untuk siswa kelas XI dan XII SMA. Bahkan, sejarah akan dihilangkan untuk jenjang SMK.
Ya, perubahan memang keniscayaan. Bisa jadi, perubahan kurikulum akan mengeliminasi sejarah. Bisa juga, perubahan kurikulum tidak jadi mengeliminasi sejarah.
Apapun keputusannya, akan saya dengar dan taati.
Hanya saja. Apapun keputusannya, akan menentukan bukan hanya masa depan (mata pelajaran) sejarah namun juga masa depan bangsa.
Untuk manusia yang mengklaim bisa mengetahui masa depan dan menjadi penentu nasib mata pelajaran sejarah. Saya hanya penasaran ingin bertanya, seperti apa masa depan bangsa Indonesia tanpa mata pelajaran sejarah?
Ingatlah. Keputusan masa kini akan menjadi sejarah di masa depan. Sebagai keputusan yang patut dikenang dalam sejarah gemilang atau sebagai bagian sejarah kelam yang mengakhiri perjalanan bangsa Indonesia.
Semoga keputusan yang diambil sama dengan keputusan arek-arek Surabaya yang merobek bendera merah-putih-biru dan menaikkan bendera merah-putih di atas Hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945.
Semoga bukan keputusan yang menyebabkan robeknya merah-putih.
Wellington, 19 September 2020.
[1] https://news.detik.com/berita/d-4756799/nadiem-makarim-saya-jadi-mendikbud-karena-mengerti-masa-depan
[2] https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/09/18/pelajaran-sejarah-terancam-hilang-di-smk/
[3] https://public-history-weekly.degruyter.com/6-2018-34/difficult-histories-maori-optional-essential/
[4] https://www.hrc.co.nz/news/petition-remember-nz-land-wars/
[5] https://www.rnz.co.nz/news/national/398599/new-zealand-history-will-be-compulsory-in-all-schools-by-2022