Nice homework kali ini merupakan tugas yang tersulit bagi saya. Bagaimana tidak, saya harus menulis surat cinta untuk suami. Saya bukanlah orang yang romantis, tidak pandai merangkai kata yang indah. Begitupula suami, jauh lebih tidak romantis daripada saya. Kami memang bukan tipikal pasangan romantis yang saling mengumbar kata cinta melalui puisi atau lagu atau apapun itu. Bahkan mengucapkannya pun jarang, bisa dihitung jari :p Tapi jika sedang berjauhan jangan ditanya, sehari saja rasanya seperti puluhan tahun lamanya. Justru jika sedang berjauhan kami mendadak bisa romantis. Pernah suami membuatkan satu puisi kepada saya saat jarak terbentang di antara kami di masa awal menikah. Bahkan di saat saya menyerahkan surat cinta pun responnya datar, tanpa banyak kata, hanya tersipu malu dan menggoda saya. Seperti biasanya, ketika ada salah satu dari kami yang mendadak romantis, biasanya akan saling menggoda satu sama lain. Tumben mungkin begitu :p Tak apalah walau tanpa kata, yang penting ada pelukan dan ciuman penuh cinta. Hahahaha….. Namun, apapun itu, bagi saya, beliau tetaplah sesosok laki-laki mulia yang hadir mendampingi saya dalam kondisi yang terbaik.
Potensi kekuatan diri suami yang menonjol adalah keikhlasannya untuk menerima saya apa adanya, tanpa menuntut apapun dan mencintai saya dengan tulus. Bagi saya, beliau adalah sumber kekuatan saya. Beliau lah yang selalu hadir di kala saya berduka. Kehadirannya saja sudah cukup membuat saya mampu menjalani apa yang harus saya jalani. Beliau juga bak gembok dan kunci dengan saya, kami saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan kelebihan dan kekurangan kami masing-masing. Potensi lain yang saya banggakan dari suami saya adalah kemampuannya untuk menjadi pemimpin, kepala keluarga yang dapat diandalkan pada situasi apapun. Beliau juga manajer keuangan yang handal, jauh lebih handal daripada saya. Di saat saya sering malas menulis cashflow anggaran keluarga, maka dia yang rajin setiap hari menuliskannya di catatan pribadinya. Pandai berhemat dan gemar menabung :p Dan satu hal yang menjadikan kami saling cocok satu sama lain adalah kesigapannya untuk “beraksi” atas apa yang saya rencanakan. Ya, saya adalah seorang good planner yang memble kalau harus merealisasikan semua rencana yang disusun. Berkebalikan dengan suami yang lebih nyaman dalam beraksi daripada membuat berbagai rencana.
Pernikahan kami telah berlangsung selama hampir 7 tahun. Saat ini, kami diamanahi dua orang anak laki-laki, Arka saat ini berusia 6 tahun 10 bulan dan Abza yang berusia 2,5 tahun. Anak pertama saya adalah tipe anak yang sangat komunikatif, saya merasa kemampuan berbahasanya baik sekali. Arka mulai bisa berbicara sebelum usia satu tahun, kata pertamanya yang jelas diucapkan sudah muncul di usianya yang masih 8 bulan di kala itu. Anak yang ceriwis, begitu saya menjulukinya. Sejak mulai mampu merangkai beberapa kata di usia 1 tahun lebih dia sudah menunjukkan keceriwisannya. Rumah jadi ramai dengan ocehannya dan menjadi sangat sepi jika dia sedang tidak di rumah (bersekolah atau menginap di rumah mbahnya). Arka juga sebenarnya termasuk anak yang tidak takut berkenalan dengan orang baru jika dia sudah merasa nyaman dengan kehadiran orang tersebut. Namun jika berada di lingkungan baru biasanya dia termasuk anak yang pemalu, hanya mau bersosialisasi intens dengan beberapa orang yang menurutnya memang benar-benar baik dan cocok dengan dirinya. Potensi lain yang saya dapati dari Arka adalah ketajaman ingatannya. Kemampuannya mengingat sesuatu yang detail cukup membuat saya takjub. Dia mampu menuturkan kembali dengan cukup detail (jika moodnya sedang bagus) apa saja yang dia lakukan sebelumnya atau apa yang dia lihat sebelumnya.
Lain Arka, lain Abza. Anak kedua saya adalah anak yang pendiam, tidak seceriwis Masnya. Di usianya saat ini, dia belum mampu berkomunikasi dengan kemampuan bahasa sehandalnya masnya di usia yang sama dengan adiknya. Namun, keberanian Abza jauh lebih dominan dibandingkan masnya yang cenderung penakut. Motorik kasarnya lebih berkembang pesat, di usia 16 bulan mampu berjalan. Sedangkan masnya dulu, menjelang usia 2 tahun baru mampu berjalan tanpa dipegangi. Sekarang di usianya yang 17 bulan, adek Abza sudah mulai berani untuk berjalan cepat (hampir berlari kecil) yang sebenernya justru sedikit mengkhawatirkan karena keseimbangannya belum optimal. Abza juga cukup berani memanjat box mainan dan kursi saat usianya masih 14 bulan. Sekarang diusianya yang 2,5 tahun ini, saya mulai mengenali minatnya, dia suka sekali bernyanyi dan meminta untuk berada di depan electone memainkannya bersama saya. Alhamdulillah kemampuan berbahasanya cukup berkembang pesat jika dibandingkan 6 bulan yang lalu. Kosakatanya sudah mulai jelas, terutama vocabulary bahasa inggrisnya. Ya, kebetulan saya kadang-kadang menggunakan bahasa inggris ketika bercakap-cakap dengan Abza dan dalam pengenalan kosakata dasar saya mengenalkan yang berbahasa inggris dulu baru kemudian mengartikannya ke dalam bahasa indonesia. Semoga di kemudian hari, saya bisa mengenali potensi lain yang menonjol pada Abza.
Nah, setelah saya mencoba mengenali potensi suami dan anak-anak. Kini, giliran saya menyelami potensi diri sendiri. Bagian tersulit, karena sesungguhnya terkadang diri sendirilah yang paling sulit untuk dimengerti. Menurut saya, potensi yang menonjol pada diri saya adalah kemampuan saya sebagai juru masak di rumah. Sedari kecil, kebetulan sekali, Ibu saya sering melibatkan saya untuk membantunya saat di dapur. Setidaknya bekal di masa masih tinggal bersama orang tua menjadi bekal saat saya di tahun akhir masa kuliah. Di saat itu, saya mulai menunjukkan ketertarikan bereksperimen dengan berbagai resep yang saya dapatkan dari majalah memasak dan beberapa food blog. Harapan saat itu, simple saja, hanya ingin agar suatu saat nanti kelak jika saya sudah memiliki keluarga, saya lah yang menjadi juru masak utama di rumah, mempersembahkan kreasi terbaik untuk keluarga tercinta. Bahkan secara khusus, saat ini saya memiliki blog untuk mendokumentasikan kreasi dapur mungil di rumah. Potensi inilah yang saya sadari mungkin menjadi salah satu alasan kenapa saya bersama keluarga saya saat ini. Suami saya adalah seorang vegetarian, tidak bisa masak namun suka makan. Sedangkan anak-anak termasuk picky eater kelas berat. Menjadi ibu dengan preferensi makan yang berbeda-beda seperti ini sungguh menjadi tantangan tersendiri. Setiap minggu, saya harus membuat menu mingguan, mengatur menu agar memenuhi selera masing-masing anggota keluarga.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya adalah seorang planner handal. Saya suka melibatkan diri saya di dalam pembuatan berbagai perencanaan. Mulai dari merancang rencana topik bermain dan belajar anak di rumah, menyusun menu mingguan, merancang jadwal keluarga, membuat travel itinerary, dan lain sebagainya. Namun, saya sadari potensi ini seringkali tidak diimbangi dengan potensi melakukan atau merealisasikan apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Sehingga kebanyakan yang terjadi adalah rencana yang tinggal rencana, sebagian banyak yang gagal. Hal inilah yang kemudian menjadikan saya sebagai istri dari suami saya, seorang penggagas handal. Saya yang membuat rencana dan suami yang akan dengan semangat merealisasikannya.
Potensi lain yang menurut saya menonjol adalah kesabaran dan kemampuan saya untuk menahan amarah. Saya adalah seorang ibu yang sebenarnya jarang marah namun ketika saya sudah marah itu artinya saya sudah tidak bisa menahan luapan emosi. Biasanya level paling bawah adalah cerewet. See?? Rasanya semua ibu sudah mendapat label sebagai orang yang paling cerewet di rumah ya, hahahaha….. Tapi saat saya cerewet sebenarnya bukan berarti sedang marah. Berkebalikan dengan suami yang cenderung diam, jika marah lebih memilih untuk diam tanpa banyak kata. Sampai-sampai saya sering kesulitan memahami sesungguhnya suami sedang marah karena apa :p Yah, begitulah… ternyata memang benar, kami ini ditakdirkan untuk bersama untuk saling melengkapi satu sama lain.