Menikah adalah bagian dari proses kehidupan yang harus dijalani oleh sepasang pria dan wanita yang dipertemukan Allah. Semua pasangan tentunya berharap bahwa pernikahannya akan selalu bahagia dan rumah tangga yang dibangun penuh dengan kedamaian, cinta dan kasih sayang. Keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah bukanlah hanya sekedar kalimat ucapan retorik semata. Sakinah, mawaddah dan rahmah tidak bisa datang dengan sendirinya karena keberkahan itu harus dibangun oleh sepasang suami istri dengan penuh ketaatan dan keimanan di dalam hati.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Rum : 21)
Banyak yang mengatakan bahwa untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah diperlukan kebersamaan di dalam satu atap yang sama. Ini bukan tanpa alasan, karena memang kebersamaan itu akan menumbuhkan cinta, saling berbagi kasih dan sayang, pemenuhan kebutuhan biologis, serta saling menguatkan satu sama lain ketika menemui bahtera kehidupan dalam berumah tangga. Namun, tidak semua pernikahan bisa tetap bersama dalam satu atap untuk beberapa waktu dengan berbagai alasan tertentu. Apapun alasan dan kondisinya, tetap saja ada hak dan kewajiban di dalam pernikahan itu yang harus ada dan dipahami bersama oleh pasangan suami istri.
Ketika saya dan suami memutuskan untuk membangun rumah tangga seperti yang kami harapkan bersama, tidak pernah terbayangkan kalau kami harus menjadi bagian dari kelompok suami istri yang harus menjalani pernikahan jarak jauh (long distance relationship). Walaupun kami sadar, di awal pernikahan, kami datang menjadi satu dengan membawa mimpi masing-masing. Mimpi yang ingin kami wujudkan namun tetap mengikutsertakan keluarga dalam menggapai mimpi tersebut. Tujuh tahun menjalani pernikahan, up and down berumah tangga sudah kami rasakan, kami tidak pernah terpisah oleh ratusan kilometer jarak dalam jangka waktu yang lama. Ketika saya melanjutkan studi S2 di salah satu perguruan tinggi negeri di provinsi lain, saya menjalani peran paruh waktu saya, hanya saat akhir pekan saya berada di kota yang dilewati oleh Sungai Bengawan Solo itu. Kondisi LDR yang tidak benar-benar LDR. Mungkin “latihan LDR” yang agak panjang pernah kami jalani saat suami berkesempatan menjalani short course di Jepang. Tapi lagi-lagi kondisinya tidak benar-benar LDR, karena hanya menghabiskan waktu 1,5 bulan saja.
Namun, kini, sejak delapan bulan yang lalu, saya dan suami resmi menjadi pasangan yang harus menjalani LDR sesungguhnya dengan jarak yang terbilang tidak sedikit, 7.548 km terbentang jarak di antara kami dengan 6 jam perbedaan waktu. Jangan tanya bagaimana rasanya? Tentu saja tidak mudah pada awalnya, entah sudah berapa banyak derai air mata di tiap sujud panjang yang dipanjatkan dan di malam-malam saat saya merasa kesepian, atau di saat-saat saya menghadapi momen yang membuat kondisi psikologis saya tertekan. Kegalauan ini seringkali membuat saya memohon pada suami untuk ikut turut serta saja menyusul bersama anak-anak dan rela melepaskan banyak hal demi membersamai suami. Karena kebersamaan itu akan memudahkan usaha untuk saling menjaga, mewujudkan rasa nyaman, meluapkan kasih sayang dengan lebih leluasa serta menemani anak-anak menjalani tumbuh kembangnya. Akan tetapi, hal tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan kami (dan utamanya suami) yang membuat kami harus ikhlas dan sabar menerima kondisi bahwa kami belum bisa berkumpul lagi di dalam atap yang sama seperti sebelumnya.
Ikhlas dan sabar buat saya adalah dasar untuk meridhoi kondisi yang harus kami jalani saat ini. Tentu tidak mudah, tapi kami berusaha menjaga kepercayaan satu sama lain serta yang paling penting di dalam hubungan jarak jauh ini adalah menjaga keharmonisan komunikasi di antara kami di tengah perbedaan waktu yang menyelimuti kami. Ada masanya ketika jadwal video call tiba atau ketika anak-anak tiba-tiba minta telepon ayahnya karena ingin membicarakan sesuatu atau hanya sekedar ingin tahu kabar ayahnya ternyata tidak sinkron dengan jadwal ayahnya yang harus konsentrasi bekerja atau sudah masuk jam tidur untuk ayahnya, dan sebaliknya. Tantangan-tantangan ini membuat kami harus bergiliran berkorban kepentingan pribadi demi memenuhi hal tersebut. Maka, jangan heran jika sekarang di daftar call handphone saya isinya bertabur nama ayahnya anak-anak 😅😅 Hikmahnya terkait komunikasi ini, suami ataupun saya jadi memiliki semacam kewajiban untuk saling berkabar satu sama lain, berangkat dan pulang beraktivitas, rencana yang akan dikerjakan dan lain sebagainya. Di awal LDR malah jadi kayak muda-mudi saat pacaran, nanya hal simpel seperti “sudah makan atau belum?” “lagi ngapain” dan sebagainya. Yang lucu saat sebelum LDR, boro-boro menanyakan hal remeh temeh begitu, hahahaha…
Delapan bulan menjalani kehidupan pernikahan seperti ini tentunya mengajarkan saya banyak hal. Tentang keikhlasan dan kesabaran seorang istri, tentang kemandiriaan dan sikap tangguh tidak mudah untuk berkeluh kesah (walaupun kalau sudah mentok ya ujung-ujungnya lari lagi mengadu pada suami), dan tentang menjaga diri, menjaga amanah yang dititipkan suami kepada saya dan pelajaran-pelajaran hidup lain yang sangat berharga bagi saya untuk menjadikan kehidupan ini jauh lebih baik dari sebelumnya.
Hari ini, tanggal 29 Mei 2018, tepat 8 tahun pernikahan kami. Tidak ada perayaan hari jadi kami, tidak ada candle light dinner seperti pasangan suami istri lain, tidak ada ucapan atau pelukan penuh kasih sayang seperti biasanya di pagi hari, tidak ada karangan bunga dan hal-hal serba romantis lainnya. Yang ada hanyalah cinta di dalam hati, cinta yang akan tetap dijaga sampai tiba hari dimana kami bisa berkumpul kembali di tempat berkumpul yang sesungguhnya, di surgaNya Allah kelak….
You are miles apart from me, and yet, we still share the same sky, the same dreams, the same wishes, the same love. You may be far from me, but we still look up and are grounded in who we are and who we are meant to be – one day, together”. — Marisa Donnelly, Somewhere on a Highway
*catatan di penghujung hari untuk suamiku yang sedang berjuang di tanah Aoetaroa (daratan dengan awan putih yang panjang)
5 comments
Wow..mba Dewi…semoga selalu diberi kekuatan menjalani LDR yg pastinya tidak mudah..saya dlu pernah 1th tp hny “semi” LDR karena hny berjarak Malang-Madiun hehe…semoga bisa cepat berkumpul lagi bersama sekeluarga ya mba…amiinn
Amiin 🤗
Ternyata sudah lulus jadi pasangan LDR ya mbak Riani… Saya harus banyak belajar dari mereka-meraka yang sudah lulus nih…
Beberapa waktu terakhir saya seperti “diarahkan” untuk membaca kisah LDR sepasang suami istri. Semoga dengan pengalaman Mbak Dewi bisa menjadi pertimbangan saat harus memilih LDR atau tidak nantinya.
Ada rencana akan berLDR juga mbak?
Iya Mbak, kalau suami studi lanjut.