Kisah Hantu
Ini kisah nyata. Bukan rekayasa. Saya alami sendiri kejadiannya. Merinding aku dibuatnya. Kejadiannya memang sudah lama. Tapi masih tersimpan dalam dada. Membekas!
Saat itu, sekitar paruh kedua dekade 1980-an. Saya lupa waktu persisnya. Saat saya masih balita. Saya mengalaminya. Mungkin karena masih polos tanpa dosa. Saya bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat mata. Tapi saya bukan satu-satunya yang mengalami. Ada juga saksi mata sekaligus pelaku peristiwa. Beliau adalah “Mama” (Budhe/mbak–nya Ayah saya, yang memang biasa saya panggil “Mama”) dan Mbak Alit (mbak sepupu, anaknya Mama). Hanya saja, Mama sudah meninggal beberapa tahun lalu. Jadi pembaca, jika tidak percaya, bisa tanya langsung ke Mbak Alit. Tentang kebenaran kisah ini.
Saat itu, lepas senja. Antara waktu maghrib dan Isya. Saya diajak Mama dan Mbak Alit ke halaman belakang rumah di Pasuruan. Saat itu, masih banyak tanaman tegalan yang rimbun. Gelap pula. Tiba-tiba ada yang tidak beres. Mama bilang “loh, opo iku?” sambil menunjuk ke arah pojok tegalan. Tepat di lubang tempat membuang sampah limbah rumah tangga.
Hawa ketakutan langsung menyergap. Saya tak berani menatapnya. Pun tak sempat meliriknya. Keburu Mama menggendong saya. Dibawa lari masuk ke dalam rumah Mama. Masuk lewat pintu belakang. Awalnya sembunyi di dapur belakang. Tapi ada sesuatu yang juga turut datang mengejar. Kami lari lagi. Masuk ke kamar tengah. Begitu takutnya kami waktu itu. Sehingga Mama dan Mbak Alit memutuskan untuk sembunyi di kamar. Tapi lupa atau tak sempat menutup pintu kamar. Sambil duduk di atas dipan. Kami sembunyi dibalik selimut. Bertiga. Ketakutan. Samar-samar saya merasa ada yang lewat di depan pintu kamar tengah menuju kamar depan. Sebagaimana yang dikatakan Mama dan Mbak Alit. Bahwa ada sesuatu yang sedang lewat. Maka saya diminta diam di dalam selimut. Agar tidak ketahuan hantu yang bergentayangan. Saya pun diam. Tanpa suara. Sama sekali.
Anak Keras Kepala (1)
Saya pun diam. Setelah sebelumnya saya menangis keras. Mungkin tantrum karena kemauan saya tidak dipenuhi: “turut Ibu dan Ayah ke kota”. Tapi yang jelas, setelah kejadian hantu gentayangan itu. Saya diam.
Eh, tapi kenapa bagian ini judulnya anak keras kepala? Saya bukan anak yang keras kepala. Tidak! Saya tidak keras kepala!
Oh, barangkali Arka. Anak saya yang pertama. Dialah yang keras kepala!
Pada suatu hari, Ahad pagi. Tepatnya 4 Januari. Tahun 2015. Jam 8 pagi. Arka (4 tahun, saat itu) menolak mandi. Dengan berbagai alasan. Salah satunya: “aku masih ngantuk”. Dia ingin tidur dikeloni bundanya. Akhirnya, bundanya yang sibuk di dapur mengalah. Mau ngeloniArka di kamar depan. Tapi setelah tiba di kamar depan, Arka minta “tidur di depan TV saja”. Setelah itu berubah lagi tuntutannya: “tidur di kamar belakang saja”.
Saya akhirnya menyuruh istri tetap di kamar depan. Kunci pintunya. Biar Arka tetap di luar. Bisa dibaca arahnya, Arka semakin tantrum. Akhirnya tuntutannya berubah: “Ayah, Arka mau sama bunda, Yah”; “Ayah, Arka kangen bunda,Yah”; “Ayah, Arka mau pipis sama bunda, Yah”; dan berbagai macam tuntutan lain. Sambil loncat-loncat. Juga teriak-teriak. Sampai dia lengah. Bundanya pindah sembunyi di ruangan lain. Berikutnya, dimulai permainan mencari bunda di dalam rumah. Tidak ketemu. Akhirnya permainan mencari bunda di luar rumah. Hingga teralihkan perhatiannya dengan melihat ikan di kolam dekat pos satpam. Tangis pun mereda. Akhirnya, Arka mandi sama saya. Selesai.
Di lain kesempatan. Biasanya saya dan istri berbagi peran. Saya yang antagonis dan istri yang protagonis. Misalnya, Arka menolak makan. Maka saya yang bilang, “ya sudah, sini ayah yang suapin”. Bisa ditebak. Responnya, “disuapin bunda aja”. Akhirnya mau makan. Selesai.
Anak Keras Kepala (2)
Abza (4 tahun), anak kedua saya. Jauh lebih keras kepala!
Sedikit saja tidak sesuai keinginannya. Maka bisa timbul pertentangan, kemarahan, dan tantrum berkepanjangan. Makannya, juga susah luar bisa. Jauh lebih susah dari mas-nya.
Minta disuapin minum susu di gelas. Bila salah cara memegang gelas—harus dipegang dengan kedua tangan, tepat dibagian pegangan sebelah kanan-kiri gelas—maka bisa timbul pertentangan.
Kalau makan nasi, harus panas. Tapi pas disuapin, nggak boleh terlalu panas pas masuk di mulut. Tapi kalau kelamaan hingga nasi dipiring jadi dingin, akhirnya gak jadi makan. Repot!
Kalau pas makan ayam goreng (gak boleh sebut merk), yang dimakan hanya “kriuk”-nya. Kalau sampai daging ayamnya ikut ke dalam suapan, bisa marah. Kalau sampai urutan posisi nasi dan “kriuk” di atas sendok salah saja, bisa marah. Repot!
Kalau pas makan nugget, juga bikin sport jantung yang nyuapin. Bila terlalu gosong, tidak dimakan. Bila nuggetnya patah, mogok makan. Bentuk nuggetnya juga harus sesuai keinginannya saat itu, apakah itu tipe alphabetnya atau jenis dinosaurusnya, jika tidak sesuai keinginan nggak jadi makan. Repot!
Tapi, Abza paling doyan makan mie tarik sapi, yang ada di N**dle.I*c, Malang. Tapi bukan berarti mudah makannya. Dia tidak mau makan di mangkok merah-hitam yang jadi mangkok standard-nya mie tarik di kedai itu. Harus makan di mangkok putih kecil. Harus minta dulu ke pelayannya. Salah mangkok saja, tidak jadi makan. Repot!
Lalu. Pada suatu hari, Jumat pagi. Tepatnya 2 Agustus. Tahun 2019. Jam 7.06 WIB atau 12.06 NZT. Bundanya Abza video call. Dari dalam mobil. Pas lagi nganter Abza sekolah. Sebelum berangkat sekolah tidak mau sarapan. Maunya minta donat A tapi masih tutup, ditawarin donat B, roti C, dan bubur D tidak mau. Semakin ditawarin alternatif lain, semakin marah. Malah minta gendong bundanya yang lagi nyetir. Heboh. Hingga sampai sekolah masih marah. Setelah agak reda, ternyata minta bubur D.
Bagaimana kelanjutannya? Tanya bundanya saja. Waktu itu saya tinggal pergi Jumatan. Saran saya sebelum mematikan HP adalah, coba “slimurkan” ke topik yang lain.Begini ini susahnya kalau LDR-an, tidak bisa berkolaborasi untuk menyelesaikan anak tantrum, sebagaimana yang pernah dialami Arka di atas.
Anak Keras Kepala (3)
Dengan melihat anak sendiri, akhirnya saya bisa menginsyafi. Bahwa saya sendiri pun, juga anak keras kepala. Ibu saya pun juga menjelaskan, kalau Arka & Abza sama saja dengan saya waktu kecil. Sama-sama keras kepala. Diingatkannya pula kata-kata yang sering keluar dari mulut saya, “lek enggak, yo enggak” (kalau sudah bilang tidak, ya tidak).
Kisah hantu yang saya paparkan di awal, adalah salah satu bentuk strategi pengalihan perhatian (slimuran)yang dilakukan Mama & Mbak Alit untuk mengatasi saya yang tantrum. Lama saya tidak menyadarinya, hingga saya pun sering cerita ke teman sebaya ketika SD, saat kami berbagi kisah seram, bahwa saya pernah “melihat hantu” dari pengalaman “mistis” itu.
Pas sudah makan bangku kuliahan di Malang, barulah saya sadari, setelah baca bukunya Hildred Geertz “The Javanese Family” bahwa itu merupakan bagian dari strategi pendidikan masyarakat Jawa kepada anak-anaknya. Hildred Geertz, menemukan tiga konsep pendidikan “wedi, isin, sungkan” (takut, malu, dan segan) orang Jawa dalam mendidik anak. Apa yang saya alami dalam kisah hantu di atas, adalah bagian dari konsep wedi. Saya ditakut-takuti agar ter-slimur-kan.
Berdasarkan pengamatan terhadap Arka dan Abza yang susah makan, saya pun jadi teringat bahwa saya juga susah makan. Ketika Abza hanya mau makan “kriuk” ayam goreng, saya jadi teringat, bahwa ketika saya kecil pun juga hanya mau “garingan”-nya telor goreng. Saya hanya mau makan pinggiran telor goreng yang “kriuk-kriuk.”
Setelah pernah sakit dan opname di rumah sakit, sekitar kelas 3 atau 4 SD. Saya akhirnya menjadi vegetarian secara bertahap. Gara-gara dokter menyarankan, agar saya diberi makan daging sapi—mungkin hati atau entah apa. Dan akhirnya, dipaksa makan oleh ibu saya. Masih membekas dalam memori, ketika dipaksa makan daging tersebut, pakai nasi dan kecap. Pahit. Dipaksa makan di musholah dekat dapur rumah. Saya tidak mau. Nangis. Tapi tetap dipaksa. Dalam hati akhirnya timbul perlawanan, saya tidak akan lagi makan daging sapi sebagai bentuk pemberontakan. Tapi memang, secara psikologis timbul trauma, saya tidak suka aroma daging sapi, bawaannya ingin muntah. Akhirnya secara bertahap, setelah sapi, saya tidak mau makan ayam, lanjut menolak ikan laut. Hanya telor yang masih bisa dimakan.
“The Verdict”
Untuk para pembaca. Khususnya kamu. Iya, kamu!. Ibu dari anak-anakku.
Ada beberapa saran yang bisa ditawarkan:
Pertama. Ketika anak sedang tantrum, jangan pernah diberi alternatif pilihan saat anak sedang emosi. Alternatif yang ditawarkan saat emosi tidak akan jadi solusi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah pengalihan perhatian terlebih dahulu (slimuran). Baru setelah emosi reda, diberi alternatif solusi.
Kedua, jangan memaksa anak yang keras kepala. Semakin dipaksa, semakin pecah. Batu jangan dilawan batu. Berilah air, sampai ia luluh. Baru kemudian beri alternatif yang sama-sama memberi resolusi bagi kedua pihak.
Ketiga, anak keras kepala adalah hal yang wajar. Dalam psikologi perkembangan, dikenal dengan fase Trotzalter pertama (4-6 tahun). Dan nanti menjelas pubertas, fase Trotzalter kedua (12-15 tahun). Jadi, dijalani selow saja. Tidak perlu drama Bombay.