Suamiku tersayang…
Pertama mengenalmu, tak pernah terpikirkan olehku bahwa kamu akan menjadi sesosok pria yang aku cintai dengan ketulusan di hati. Saat itu jika boleh jujur, kamu bukanlah tipeku. Tapi ketika bertemu, kehangatan dan kenyamanan yang aku rasakan. Pada detik itulah aku jatuh cinta padamu wahai pria yang hangat…..
Terimakasih sudah “memintaku” untuk menemanimu dan menggenapkan separuh jiwamu dengan segala kekuranganku. Masih ingatkah kamu saat aku berkisah dalam derai air mata mengenai diriku, hidupku, dan keluargaku? Aku tidak pernah menyangka bahwa dengan segala rintangan yang mungkin akan kita hadapi saat itu, kamu masih memutuskan untuk ada disampingku. Lagi-lagi kamu berhasil membuatku semakin mencintaimu wahai pria yang hangat…
Menikah tentu menjadi impian semua wanita..
Bertemu dengan pria yang bisa menjadi imam bagi istri dan keluarga tentu menjadi dambaan semua wanita..
Bertemu dengan pria yang santun dan tahu bagaimana menjaga cinta tentu menjadi harapan semua wanita..
Bertemu dengan pria yang bisa menjadi sahabat dalam duka dan suka tentu menjadi keinginan semua wanita..
Dan aku beruntung bertemu denganmu…
Semoga cinta yang bersemi dan akan terus bersemi di antara kita adalah cinta yang tulus hati karena Allah…
Semoga cinta ini bisa tetap utuh dan kokoh untuk saling bahu membahu membangun istana di surgaNya kelak..
Satu dekade telah berlalu…
Aku tak pernah menyangka, di tahun ke sepuluh ini, Allah memberi ujian bagi keluarga kecil kita. Aku tahu terkadang di tengah ujian ini, ada masa dimana aku terpuruk dan menyesali sudah mengizinkanmu merantau 7552 km ke bagian selatan bumi. Awalnya, aku berpikir kita akan tetap bersama dimanapun kamu berada. Aku dan anak-anak juga berharap akan ikut merantau. Qadarallah, Allah menentukan kondisi yang berbeda, kondisi yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Menyesal? Kadang-kadang iya terutama jika celengan rindu sudah tak sanggup lagi menampung isinya. Bersedih? Tentu saja. Marah? Pernah, pada diri sendiri dan padamu, lalu mempertanyakan kenapa harus begini. Mungkin aku yang kurang bersabar dan bersyukur…
Pun ketika Allah menguji lagi dengan memberikanku sakit. Sungguh yang ada di dalam benakku, aku takut. Takut dengan ketetapan Allah ini… Wajar rasanya, di tengah kondisi sakit, berbagai pikiran buruk menghantui. Yang paling sering mempengaruhi sampai detik ini pun adalah aku takut akan perpisahan, perpisahan denganmu, perpisahan dengan anak-anak. Aku takut berpisah…. Dirimu bukan milikku, diriku bukan milikmu, anak-anak bukan milik kita. “Allah yang berhak memiliki kita semua, sebaik-baiknya Pemilik…”. Karena inilah, aku berharap, ketika kita semua sudah kembali kepada PemilikNya, akan ada masanya dimana kita bisa berkumpul kembali disurgaNya kelak, Amiin…
Sekarang dan di masa yang akan datang, aku masih ingin bersama denganmu dan dengan anak-anak kita…….
Terimakasih sudah berkenan menggenapkan separuh Dienku…
Terimakasih sudah menjadi imam yang selaku kurindukan…
Terimakasih sudah menjadi tempatku bersandar ketika aku bersedih..
Terimakasih sudah menjadi teman saat menikmati kebahagiaan..
Terimakasih sudah memelukku dengan dekapanmu yang hangat…
Terimakasih sudah menggenggam tanganku dan menuntun jalanku..
Terimakasih sudah menjadi ayah terbaik untuk anak-anakku..
Terimakasih sudah menjadi sebaik-baiknya penjagaku..
Terimakasih sudah hadir dalam hidupku..
Terimakasih sudah bersedia menjadi kekasih hatiku..
Maafkan jika aku masih belum bisa menjadi istri dan ibu yang sempurna dimatamu…
Maafkan atas segala khilaf dan kekuranganku..
Inni uhibbuk fillah…
*From Malang with Love ❤️❤️