Apa yang terjadi jika tentara melakukan kudeta negara?
Negara bisa bubrah. Keamanan diri terancam. Ketakutan dimana-mana. Penangkapan merajalela. Bahkan penghilangan paksa. Nyawa taruhannya.
Tapi, bisa juga. Negara lebih tertata. Keamanan terjaga. Kedamaian terasa.
Lantas, apa yang terjadi jika tentara tubuh melakukan kudeta?
Entahlah. Tanya istriku saja. Dia yang derita. Autoimmune namanya.
Autoimmune. Sistem pertahanan alias tentaranya tubuh (sistem imun) terlampau kuat. Hingga melawan alias mengkudeta sendiri tubuhnya. Hilang kemampuan memilah mana kawan mana lawan. Hingga diri sendiri diserang.
Autoimmune. Banyak ragamnya. Keren namanya: Lupus, DM tipe 1, Rheumatoid, Guillain-Barre syndrome. Dan masih banyak lagi lainnya. Entahlah. Tanya istriku saja. Dia yang dokter.
Saya hanya ingin cerita. Hanya melukiskan rasa di dada dalam kata-kata. Berdasar pengalaman, pengamatan, dan perasaan saja.
Alkisah. Singkat saja. Tahun 2018, awal. Setelah di tanah rantau sekian bulan. Saya pulang. Untuk ambil data awal. Dibalut rindu, saya perhatikan sekujur tubuh istri. Tanpa hijab tentunya. Ada yang berbeda. Di betis kaki kanannya ada memar. Biru warnanya. Kutanya istriku saja. Terbentur foot peg motor katanya. Ya sudah.
April 2018. Ada kabar yang beda. Memarnya tak lagi biru, tapi hitam warnanya. Kutanya istriku saja. Tak sakit katanya. Ya sudah.
Ramadhan 2018. Dapat kabar lagi dari istri saya. Mengeluhkan sendi-sendi tubuhnya. Nyeri katanya. Tak lama kemudian ia periksa. Ke Dokter Kulit teman sekantornya. Autoimmune diagnosisnya. Steroid resepnya. Obat keras dan bahaya kata istri saya.
Saya khawatir?
Tidak juga. Kupikir autoimmune hanya efek kebentur foot peg motor. Lagian juga masih fokus presentasi proposal penelitian saya.
Pertengahan 2018. Memar kulitnya bertambah. Dirujuk oleh dokter spesialis penyakit dalam ke dokter lainnya. Diminta ke konsultan reumatologi. Spesialis penyakit dalam juga. Parahita Peduli Lupus nama kliniknya. Di Jalan Kawi depan MOG Malang tempatnya.
Mumpung ambil data di Indonesia. Saya bisa menemani istri periksa. Saya baru sadar kalau autoimmune itu berbahaya. Juga belum jelas tipe autoimmune apa yang ia diderita. Ada khawatir juga bila kanker darah. Naudzubillah.
Tiap bulan harus periksa. Tiga bulan sekali kontrol darah. Obatnya imunosupresan, mahal pula. Tak masalah. Asal sehat seperti sedia kala.
Saya khawatir?
Tentu saja. Awal 2019 harus kembali ke Selandia. Tak bisa menemani istri saya. Hanya berita yang saya terima: “Aku mimisan lagi Yah”, “Rontok rambutku tambah parah Yah”, “Aku nyeri Yah”, “Aku migrain attack with aura Yah” dan sebagainya.
Itulah yang dirasa istri saya.
Lantas, apa yang saya rasa?
Seperti naik roller coaster. Khawatir dan cemas. Setiap kali jungkir balik dan naik turun. Tapi kali ini lebih ngeri. Ibarat tak pasang sabuk pengaman. Setiap saat bisa jatuh dan terlempar. Maka yang bisa dilakukan adalah berpegang kuat dan bertahan agar tetap aman.
Bagaimana bisa bertahan?
Syukur. Itu jawaban yang paling bisa saya tuliskan di sini. Meski terkadang berat dijalani.
Setiap kali antar istri periksa. Saya bisa melihat bahwa ada pasien yang lebih parah. Dibanding istri saya. Entah kenapa mayoritas adalah wanita. Sebagian malah masih lebih muda.
Setiap kali antri obat di apotik. Saya menyadari harga obat lebih mahal daripada gaji bulanan saya. Toh juga masih bisa kebeli. Karena memang pakai duit istri. Saya hanya memberi subsidi. Nikmat mana lagi yang harus didustakan?
Setiap kali istri saya mengeluh sakit, nyeri, pusing, mimisan, dan lainnya. Saya bisa merasakan betapa lemahnya kita sebagai manusia. Hal ini terkadang mampu mengubah orientasi mata. Biar tidak terlalu fokus dunia.
Setiap kali istri lapor berat badannya bertambah. Ini karena efek obat. Saya tak masalah. Toh saya dulu tak menikahi istri karena fisiknya. Bahkan saya sudah jatuh cinta padanya jauh sebelum sempat tatap muka.
Setiap kali istri lapor rambutnya semakin berguguran. Ini karena efek obat juga. Saya tak masalah. Toh saya jadi ada temannya. Rambut saya juga berguguran. Meski bukan efek obat keras. Tanpa rambut sekalipun saya akan tetap mencintainya. Sebagaimana ia dulu juga selalu menguatkan akan tetap mencintai saya. Meski saya tak punya rambut di kepala.
Sehari setelah teror di dua masjid Selandia sini. Hati saya diteror lagi. Istri beri kabar lagi. Jantungnya sering “jedug-jedug” berkali-kali. Sehingga harus pergi periksa sendiri. Tanpa ditemani suami. Katanya premature ventricle contraction atau PVC. Tentu takut dan khawatir sekali.
Saat ini saya hanya bisa pasrah dan harap. Pasrah, karena kudeta sudah terjadi. Harap, agar tentara tubuh yang melakukan kudeta bisa diajak kompromi. Agar tubuh istri bisa sehat kembali.
Wellington, 19 Maret 2019