Menjadi pejalan kaki tak ada bedanya dengan pengguna lalu lintas lainnya. Kita juga harus mematuhi tata tertib saat di jalan, ya kecuali kita memang sengaja ingin mencelakakan diri sendiri sih. Hehe.. Hampir di setiap pinggir jalan pasti ada fasilitas buat para pedestrian. Namun, tak semuanya memang benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kadang-kadang jangan heran kalau kita liat ada kendaraan bermotor yang nangkring di atas trotoar atau pedagang-pedagang kaki lima yang mendirikan kios semi permanennya di atas trotoar. Jadilah, para pedestrian harus rela turun ke jalan untuk menyisiri jalan tersebut.
Selain itu juga ada jembatan penyebrangan yang khusus dibangun buat para pedestrian. Di Jakarta banyak sekali jembatan ini ditemui apalagi sejak ada jalur busway khusus bis Trans Jakarta. Kalau di Malang sendiri, keberadaan jembatan penyebrangan bisa dihitung jari, yang pernah saya liat malah hanya 3 jembatan, di depan Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar, dekat pertigaan menuju ke MCD Basuki Rahmat dan di depan Dirjen Pajak Alun-alun Kota Malang. Tapi tetap saja jembatan ini juga tak berfungsi maksimal. Kadang-kadang juga ditempati pengemis dan pedagang kaki lima. Kebanyakan orang juga lebih memilih menyebrang di jalan daripada naik ke jembatan penyebrangan. Mungkin karena terkesannya lebih melelahkan karena harus naik dulu baru turun lagi. Padahal kalau lewat jembatan, kita harusnya lebih merasa aman. Ntahlah…
Ada juga yang namanya Zebra Cross, biasanya ada di jalan-jalan protokol atau jalan-jalan utama dan di lampu merah. Namun, kebanyakan dari kita mungkin lebih sering menyebrangi jalan langsung saja tanpa melalui tanda garis hitam putih itu. Iya kan? Ayo ngaku saja? Hehehe… Soalnya saya juga sering begitu apalagi kalau si hitam putih itu jaraknya jauh banget dari tempat saya hendak menyebrang. Kecuali sejalan dengan jalan yang akan saya tempuh ada si hitam putih, maka saya memilih untuk menyebrang lewat zebra cross, merasa lebih save saja. Atau jika jalan terlampau ramai dan saya bepergian seorang diri, sulit untuk menyebrang, maka pasti saya akan memilih si hitam putih.
Saya tidak tahu berapa angka statistik mengenai jumlah pejalan kaki di Indonesia. Yang pasti mungkin angkanya tidak akan sefantastis para pejalan kaki di luar negeri seperti di Jepang dan beberapa negara Eropa lainnya. Karena jumlahnya yang tak seberapa itu seringkali di bumi Indonesia tercinta ini para pedestrian memang tidak dihargai. Ini berdasarkan beberapa pengalaman pribadi sih..
Seperti sore ini, dalam perjalanan saya ke tempat praktekan seorang dokter akhwat untuk menggantikannya yang sedang ke luar kota hampir saja saya diseruduk motor saat menyebrang. Sore yang mendung, hujan turun rintik-rintik, suasana jalan di depan RS memang sangat ramai, agak macet. Biasanya saya langsung menyebrang di depan RS, tapi karena kemacetan itu saya memilih untuk jalan dahulu menuju lampu merah di pertigaan Kayu Tangan. Di pertigaan tersebut ada lampu lalu lintas khusus pedestrian yang membantu sekali untuk tahu kapan kita bisa menyebrang dan kapan kita harus diam dulu.
Seperti biasa, tadi saya melihat situasi jalan dulu. Lampu masih menyala merah, tengok kanan kiri. Piuh… kendaraan-kendaraan itu walaupun suasana jalan agak rame masih saja memacu kendaraannya dengan kencang. Lampu menyala hijau, tengok kanan kiri. MasyaAllah, masih saja mereka nekat menggas kendaraannya, padahal lampu buat mereka sudah merah, apalagi ada polisi di sekitar situ. Saya yang berdiri dengan payung yang terbuka tidak dihiraukan oleh mereka. Alhamdulillah kemudian ada beberapa mobil yang sadar buat mengerem dan mempersilakan saya lewat, tapi tetap saja ada motor yang ngebut menghampiri saya. Bergegas saya berjalan. Masih ada satu sisi ruas jalan lagi. Padahal lampu pedestrian sudah hijau. Kendaraan dari arah sebrang masih saja memaksakan diri. Saya cuma bisa menghela nafas di pinggiran, sedikit dongkol sebenarnya, karena saya juga harus segera sampai di tempat praktek. Karena mereka tidak berhenti-berhenti juga, akhirnya saya coba nekat saja, toh saya juga tidak salah, kan lampu buat saya jelas-jelas hijau. Ketika saya lewat ada yang memelankan jalan mereka namun tetap saja ada yang tidak tahu diri. Dan motor itulah yang hampir saja nubruk saya. Apalagi ditambah dengan mobil taksi hijau itu yang juga tidak mau mengalah. Saya dengan santainya tetap berjalan di jalur saya. Sebodo saya pikir dengan mereka, toh mereka juga sebenarnya tidak berani menyerobot kalau sudah ada yang berjalan kaki dengan benar di jalurnya. Kecuali mereka mau mencari masalah dengan polisi sih, hehehe.. Sampai di tepi jalan, menghela nafas lega, akhirnya bisa juga menyebrang dengan selamat.
Pengalaman tersebut bukan sekali dua kali saya rasakan, namun sering kali. Ntahlah, miris, di Indonesia, pedestrian seolah tak dihargai. Jelas-jelas sudah nangkring di pinggir jalan masih saja tidak mau memelankan laju kendaraan mereka. Hanya segelintir orang mungkin yang biasanya ketika melihat sudah ada yang hendak menyebrang mereka akan memelankan laju kendaraan dan bahkan ada yang berhenti dan memberi tanda dengan tangan mereka demi mempersilakan kita menyebrang jalan dengan nyaman.
Ketika saya sedang bertugas di bagian Bedah IRD RS, sering saya mendapat korban kecelakaan lalu lintas para pejalan kaki yang kalau tidak diseruduk saat menyebrang jalan ya diserempet dari belakang saat berjalan di pinggiran. Dan jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit. Masih ingat dalam benak saya, malam itu, sepasang suami istri dan anak mereka menjadi korban tabrak lari saat mereka hendak menyebrang jalan. Sang suami karena fraktur yang cukup parah dikaki dan kepala membuatnya jatuh ke kondisi kritis. Sang istri tak terlalu parah, namun harus mendapat perawatan yang intensif. Alhamdulillah, anak mereka tak luka sedikitpun, namun sangat shock karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang tuanya ditabrak. Anak lelaki berusia 6 tahunan itu hanya bisa memeluk neneknya dan menangis. Belum lagi pasien korban kecelakaan yang lain, pasangan suami istri yang baru saja menikah menjadi korban tabrakan dengan kronologis yang mirip, saat akan menyebrang jalan! Miris rasanya……..
Ntahlah.. saya sendiri tak tahu bagaimana caranya agar para pejalan kaki di Indonesia ini lebih dihargai keberadaannya dan haknya. Mungkin memang kembali kepada kesadaran masing-masing sebagai pengguna jalan.. Wallahu’alam…
*curhatan iseng sambil menunggu pasien pasca hampir keseruduk motor..
26 comments
Iya bu Dokter..
mona pernah disrempet mobil punggungnya 🙂
sempet ya,,, nulis :-p
Serbasalah ya, yang udah berniat jalan pun bisa urung ketika lihat keadaan nggak nyaman…
🙁
sekarang, saya berjalan kaki di tengah hiruk pikuk lalu lalang orang dan kendaraan harus selalu ditingkatkan level waspadanya, sebentar nengok kanan/kiri jalan, takut ada motor atau mobil 😀
mmh bener2 tuh….jujur saya lebih takut berhadapan dengan motor daripada mobil karena motor2 itu suka seliweran seenak udelnya aja…mentang2 bisa nyelip2biasanya kalo nyebrang saya suka pelototin kalo ada yang udah ngegas maju padahal lampu masih merah….pernah ada juga yang saya bentak
wah mbak, alhamdulillah selamet….
Hampir ke sruduk motor mba Ta? alhamdulillah alla kulli hal..
Toleransi di jalan emang susah..JKFS..
Iya pak ^_^
ih serem kak…untung g kenapa2 ya ^_^
ya sempet kak…wong kagak ada pasien.. hehehe….upss.. ternyata tulisanq panjang juga ya…ga nyadar soalnya kemaren langsung mengelurkan uneg2…berhubung ngetik pake wordnya communicator dan langsung di post via hp jd g nyadar klo panjang banget….smoga g cape bacanya 😀
iya kak…. ^_^
apalagi di sono ya teh.. kondisi jalan pasti lebih menegangkan :Dtake care ya teh…
hahahahaha…keren tuh mbak….saya mah g berani bentak2…cuma pasang tampang jutek aj 😀
@mbak Ayu & Dek Fathy: Alhamdulillah g kenapa2 ^_^
Senasib! Susahnya jalan kaki di Jakarta. Biar sudah di jalur yang benar, teuteup aja, suka di serobot. Sebelnya para pengendara motor lebih galak walau pun ngeh pada salah.
@ukhtimaul: berarti ukhti harus lebih galak lagi dari mereka :p hehehe…
Selain kesadaran, ke depan perlu terus diusahakan bagaimana negara bertanggung jawab atas kasus-kasus seperti ini. Kalau negara kagak mau, kita mungkin bisa melawan dengan ogah bayar pajak. Gimana?
Baru mau nulis tetang topik ini… Kita sehati ya Ita… Atau mungkin senasib, sama2 mengandalkan angkot dan kaki untuk bepergian… 🙂
@Uni Desti: sehati tepatnya Ni, hehehe… 😀 wah.. ternyata Uni jg senasib sama diriku ya.. lha kalau sama anak2 jg ngangkot uni? apa ga ribet?
@dr Apin: sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintah alias negara emang harus bertanggung jawab atas kasus2 seperti ini dok. Tapi rasanya untuk hal seperti ni ga cuma tanggung jwab pemerintah aja tapi semua warga negara deh dok.. soalnya percuma jg pemerintah mewanti2 sana sini tapi klo kesadaran tiap individunya nol besar ya sama aja boong.. sama aja kyk perda dilarang merokok di tempat umum d jakarta. Wlo dah ada perda & sesekali ada razia tp tetep aja kan org2 pd nekat ngerokok d tempat umum.. klo misalnya tiap2 individu sdh pny kesadaran untuk disiplin dlm sgala aspek khidupannya rasanya everything will goes well ^_^ yg perlu dipikirkan ya gmn caranya biar kesadaran itu tumbuh.. klo yg simple ya emang harus dari diri kita sendiri.. lama2 klo smua org di indonesia melakukanny dari diri mrk sendiri & lingkungan keluarga kan ntar kultur itu bisa terbentuk jg.. kultur kan dibentuk dari kebiasaan ^_^
wah klo TKPnya dipertigaan kayu tangan berarti Ita sendiri yang kurang berhati-hati. Seharusnya kamu lihat rambu2 disitu yang udah terpampang jelas bahwa klo dari arah utara ke selatan tertulis “LURUS JALAN TERUS”. Sedangkan klo dari arah selatan ke barat dan dari barat ke utara aturannya “BELOK KIRI JALAN TERUS bin GRATIS”. Jadi meski lampu untuk pedestrian udah berwarna hijau, bukan berarti semua kendaraan harus berhenti. Terutama yang dari arah utara ke barat, sudah “disepakati bersama” bahwa kendaraan boleh bergerak ke sebelah tengah jalan (tugu) tanpa harus menunggu lampu merah padam, asalkan kendaraan dari arah barat udah berhenti karena lampu merah. Kendaraan yang bergerak ke tengah jalan itu baru boleh bergerak ke barat ketika lampu sudah hijau atau kendaraan dari selatan sudah berhenti (krn lampu merah).So, sebagai pengendara motor mewakili biker2 lain seIndonesia, kami memperingatkan agar para pejalan kaki lebih berhati2 dan memahami rambu2 yang sudah ada. Jangan melulu menyalakan pengendara motor.Khusus untuk Ita, kenapa nggak naik jembatan penyeberangan di depan RSSA aja? Tulisan anda sendiri sudah menunjukkan bahwa anda juga sering menyeberang “tanpa aturan” sebagai mana anda menyatakan “biasanya saya langsung menyebrang di depan RS, tapi karena kemacetan itu…” Bukankah di depan RSSA sudah disediakan jembatan penyeberangan bu!!!!
@mas Adit: hahahahahahaha.. lagi sewot nih mas 😛 diriku kan jg sering jd pendamping si biker 😛 jawabannya g perlu ta ketik d sini toh.. kan udah tadi via tlp ^_^ matursuwun bwt komennya ya mas Gembul 😀
Ya memang lebih ribet. Tapi karena udah kebiasaan, kalau kemana-mana anak2 kuboyong semua, ya seneng2 aja siy. Mereka juga jadi enjoy tuh. Tapi lama2 di sini, kalau pergi2 yang kecil dah sering ditinggal, karena dah ada yang jaga. Cuma saya suka kangen juga, jadi kadang gak tahan…:)